Selasa, 21 Desember 2010

Human Trafficking

PERDAGANGAN MANUSIA
(HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

Oleh : Budi Juliardi


I. PENDAHULUAN

Masalah perdagangan manusia atau human trafficking (khususnya anak dan perempuan) di Indonesia saat ini bisa dikatakan berada pada kondisi yang cukup memprihatinkan. Trafficking perempuan dan anak memiliki jaringan perdagangan yang bisa menembus batas provinsi hingga batas negara atau yang bersifat regional bahkan internasional. Anak-anak Indonesia dijual ke luar negeri yang membutuhkan tenaga kerja yang dapat dieksloitasi dan diberi upah rendah. Sementara itu, perempuan dapat dijual kepada “sindikat germo internasional” (catatan: ini merupakan kalimat penulis sendiri) untuk dijadikan pekerja seks. Mulanya mereka diiming-imingi untuk mendapat pekerjaan yang layak oleh “oknum” sindikat ini hingga akhirnya mereka dijual ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Singapura, Hongkong, hingga Thailand dan sebagian negara-negara di Eropa untuk menjadi pekerja seks .
Kemiskinan harus diakui menjadi “momok” yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang sampai sekarang belum bisa keluar dari problem tersebut. Faktor ekonomis ini menjadi modus operandi utama perdagangan manusia tersebut yang lebih banyak berkedok penawaran lapangan kerja, sehingga menyeret sebagian perempuan dan anak-anak Indonesia ke dalam praktek trafficking.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh ILO pada tahun 2003 di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat, memperkuat bahwa trafficking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh faktor ekonomi dan sosial budaya. Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat perempuan, anak-anak, dan orang tua rentan dieksplotasi oleh para pelaku trafficking. Disamping itu terdapat juga diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor pendorong lainnya. Anak-anak dan perempuan yang di-trafficking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual.

II. KONSEPSI DAN BENTUK TRAFFICKING
Human Trafficking (khusunya anak dan perempuan) secara konseptual adalah “pemindahan” dari dukungan sosial atau keluarganya melalui proses direkrut, dikirim, dipindahkan, ditampung, dan diterima oleh perseorangan atau kelompok dengan menggunakan kekerasan, penculikkan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan seseorang untuk tujuan eksploitasi seksual, pornografi, kerja paksa, prostitusi dan bentuk-bentuk lain serupa perbudakan. Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern.
Definisi trafficking yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengatakan bahwa trafficking adalah:
Perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

Dari definisi yang diberikan dalam protokol PBB tahun 2000 tersebut di atas, setidaknya ada tiga tahap bagaimana kejahatan trafficking itu terjadi. Pertama, proses, meliputi perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan. Kedua, jalan atau cara, meliputi ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Dan ketiga, tujuan, yaitu prostitusi atau ponografi atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan. Jika ketiga tahapan tersebut terpenuhi, maka satu kasus dapat dikatakan sebagai human trafficking atau perdagangan manusia.
Trafficking, menurut American Center for International Labor Solidarity (ACILS) tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat korban rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma kejiwaan (psikologi) dan bahkan kematian . Pelaku trafficking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan fisik untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi, pornografi, kerja paksa, perbudakan dan lain-lain. Pelaku trafficking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh para pelaku terhadap korban antara lain :
1) Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri; 2) menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi; 3) memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur; 4) mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya; 5) membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong; 6) membuat korban tergantung pada pelaku trafficking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan 7) memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;

Ada beberapa bentuk trafficking yang terjadi khususnya pada anak-anak dan perempuan baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain, kerja paksa seks dan eksploitasi seks, pembantu rumah tangga, penari, penghibur, penjualan bayi, dan buruh anak. Perlu diingat bahwa kasus perdagangan manusia ini dapat terjadi dalam lingkup domestik antara desa dan kota (urbanisasi) maupun lintas batas negara (trans-nasional).
Contoh nyata terjadi di Medan, dimana dalam pengaduannya kepada pihak kepolisian, korban L, 16, warga Medan sebelum berangkat ke Malaysia mendapat paspor dari agennya atas nama Vivi Aryanti, berumur 23 tahun. Ini dilakukan, supaya korban bisa masuk ke Malaysia, katanya. Setelah sampai di negeri Jiran itu, korban yang semula dijanjikan mendapat jodoh orang Malaysia, kemudian dipaksa melayani pria hidung belang. Jadi, dalam kasus ini, modus yang digunakan tersangka tergolong baru, yaitu biro jodoh. Hasil pemeriksaan sementara pihak kepolisian, kegiatan itu sudah berlangsung lama dilakukan oleh terangka dan beberapa orang koleganya. Sedangkan korbannya diduga masih banyak yang 'terjebak' di Malaysia sebagai pekerja seks (PSK).
Korban L, 16, yang 'terjerat' taktik tersangka dirayu akan dinikahkan dengan pria bekebangsaan Malaysia. Karena alasan ekonomi, perempuan lugu itu menerima tawaran itu, meski usianya masih di bawah umur. Untuk mengelabui petugas imigrasi, tersangka mengubah identitas korban menjadi Vivi Aryanti, berumur 23. Dengan identitas fiktif, korban berhasil menginjakan kakinya di Malaysia. Namun sesampainya di Malaysia, korban justru dipaksa melayani nafsu pria hidung belang di sebuah losmen. Bahkan dalam sehari menurut pengakuan korban, penah melayani lima pria. Korban sempat menanyakan hal itu kepada orang yang membawanya, tapi dia diancam, dan tidak berani lagi menanyakannya.
Untuk keluar dari lokalisasi itu, korban berpura-pura sakit dan minta dipulangkan ke Indonesia untuk berobat pada 9 Mei 2008, namun saat itu permintaanya belum dipenuhi. Korban akhirnya dipulangkan via Tanjungbalai, belum lama ini, setelah sampai, korban didampingi keluarganya kemudian membuat pengaduan kepada polisi.
Kondisi geografis Indonesia yang kepulauan disinyalir sangat rentan terhadap praktek-praktek kejahatan kemanusian ini. Dengan banyaknya pelabuhan-pelabuhan di Indonesia membuat Indonesia di identifikasikan sebagai negara yang menjadi pengirim, tempat transit dan penerima korban trafficking. Ada tiga pintu perdagangan yang cukup besar di Indonesia, antara lain Batam, Entikong (Kalimantan Barat), dan Manado, dimana kesemua daerah ini pengawasan terhadap perbatasannya sangat lemah dan sering dijadikan jalur penyeludupan manusia secara ilegal menuju Malaysia, Singapura, Thailand, hingga Hongkong dan Arab Saudi.
Disinyalir bahwa bidang pekerjaan yang rawan untuk terjadinya perdagangan manusia ini adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Intinya, kompleksitas penyebab terjadinya trafficking di Indonesia memang membutuhkan perhatian khusus dan komitmen yang kuat dari berbagai elemen masyarakat. Maraknya perdagangan manusia juga berkembang pesat karena bisnis ini menjanjikan keuntungan yang sangat besar, seperti bisnis haram lainnya, sehingga tidak mengherankan bisnis perdagangan manusia ini merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan senjata dan narkotika . Ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, lemahnya penegakkan hukum, perbatasan antar negara yang rentan terhadap penyeludupan manusia, dan lain sebagainya membuat para pelaku trafficking lebih leluasa untuk menggaet korbannya dengan berbagai bujuk rayu.

III. PANDANGAN DUNIA INTERNASIONAL TERHADAP TRAFFIKING
Perdagangan manusia (human trafficking) memang telah cukup lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Dunia internasional telah bereaksi terhadap masalah human trafficking ini. PBB juga telah mengeluarkan pernyataan tegas dan membangun jaringan dengan negara-negara yang mengalami masalah ini dalam proses penanganannya. Khusus untuk Indonesia, isu perdagangan manusia (khusunya anak dan perempuan) mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tak kala ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lainnya pada peringkat ke-tiga atau terendah dalam merespon isu ini. Negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai negara yang tidak mempunyai standar pengaturan tentang perdagangan manusia dan tidak mempunyai komitmen untuk mengatasi masalah ini.
Menanggapi desakan-desakan internasional tersebut pemerintah Indonesia kemudian berupaya keras merespon dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi persoalan perdagangan manusia. Kebijakan penting yang dihasilkan kemudian adalah munculnya Keputusan Presiden No 88 Tahun 2003 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak yang di tanda tangani pada tanggal 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Tidak itu saja, di parlemen juga di sahkan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pada bulan Februari 2004 di Pulau Batam, terjadi pertemuan empat negara yaitu Amerika Serikat (AS), Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pertemuan itu membahas tentang upaya memerangi kejahatan kemanusiaan bersindikat internasional, yaitu perdagangan manusia (human trafficking). Pertemuan itu diprakarsai langsung oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan AS dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional. AS mengajak tiga negara dikawasan Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menolerir perdagangan manusia. AS juga meminta agar semua negara tidak menjadikan perempuan, seks, dan perbudakan sebagai objek penghasil uang.
Tujuan pertemuan tersebut tidak lain adalah ingin merumuskan tiga agenda aksi yang harus dilakukan LSM dan aparat penegak hukum dalam memerangi trafficking, yaitu penanggulangan korban, pencegahannya, dan penegakan hukum kasus-kasus trafficking. Yang tak kalah penting, salah satu butir rekomendasi konferensi, menjadikan Batam sebagai pelopor memerangi kasus-kasus perdagangan manusia. Mengingat daerah ini sebagai tempat transit sebagian besar perempuan dan anak yang akan diperdagangkan ke luar negeri.
Namun dalam perjalanannya ternyata Indonesia dinilai masih belum serius dalam menangani dan mencegah terjadinya perdagangan manusia. Walaupun dalam beberapa kasus, perbuatan human trafficking ini dapat digagalkan dan pelakunya dapat diringkus, seperti pemberitaan yang menyatakan 2 pelaku human trafficking di Medan diringkus , pembongkaran jaringan penjual Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk dijadikan pekerja seks ke Malaysia di Banyuwangi , penangkapan 3 germo pelaku human trafficking untuk dijadikan penjaja seks di Bogor , dan kasus lainnya. Akan tetapi, menyusul invenstigasi yang dikeluarkan US Departement of State atau Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat pada 5 Juni 2006 lalu yang meletakkan posisi Indonesia sama dengan Malaysia dan Kamboja. Indonesia diturunkan peringkatnya karena dianggap gagal oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam memberikan bukti terhadap adanya peningkatan usaha-usaha untuk memerangi perdagangan manusia, yaitu salah satunya perangkat hukum yang bisa mengancam para pelaku perdagangan manusia.
Memang upaya pemerintah dalam melindungi warganya dari tindak perdagangan manusia dinilai oleh beberapa kalangan masih belum optimal. Koordinasi aparat penegak hukum untuk mencegah dan menindak sindikat perdagangan manusia belum bisa dikatakan berhasil. Walaupun sudah banyak kasus-kasus yang mengindikasikan trafficking telah dibongkar oleh aparat kepolisian. Namun tetap saja, materi hukum yang kita punya sekarang tidak cukup untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan manusia (human trafficking).

PENUTUP
Dari uraian panjang diatas menurut saya setidaknya ada dua hal yang harus menjadi agenda kebijakan strategsi pemerintah dalam mencegah dan memberantas praktek trafficking di Indonesia yaitu melalui pendidikan dan penegakkan hukum (undang-undang), dimana pemerintah harus tegas dalam melaksanakan hukum yang mengatur tentang pencegahan human traffiking dan memberikan sanksi tegas pada pelakunya.
Khusus mengenai peningkatan pendidikan, upaya telah menjadi perhatian semua pihak dan keberpihakan tersebut terutama ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Pemerintah harus memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat miskin untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, secara gratis dan cuma-cuma. Pemerintah perlu mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berpihak kepada orang miskin (pendidikan untuk orang miskin) dan juga yang dapat menggembangkan keterampilan
Pendidikan yang ditawarkan di Indonesia saat ini sangat mahal dan biayanya sulit dijangkau oleh orang-orang miskin. Karenanya, mereka memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka, sebab beban biaya pendidikan yang ada, tidak sebanding dengan kemampuan keuangan mereka. Bahkan anak-anak mereka yang usia sekolah harus bekerja menjadi tulang punggung bagi perekonomian keluarga. Kondisi seperti ini sangat rentan bagi anak terjerumus ke dalam praktek-praktek trafficking.

REFERENSI

Abdul Rahman Siregar. 1996. Praktek yang Dilaksanakan Pemerintah Indonesia dalam Mengikatkan Diri Terhadap Perjanjian Internasional”. Skripsi. Padang: Fakultas Hukum Unand

Harian Kompas. Aparat Harus Tanggap Modus Human Trafficking. Edisi Selasa, 8 Juli 2008.

Harian Merdeka. Bongkar Jaringan Penjual TKW. Edisi 25 Juli 2004

_____________. 12 Perempuan Korban Trafficking segera Dipulangkan. Edisi 4 Juni 2008.

Harry Truman. 2005. Kebijakan Pemerintah dalam Memberantas Kejahatan Kemanusiaan (Human Traffiking). Jurnal ilmiah. Nomor ISSN: 0216-1370. Yogyakarta: LPM UNY

Irwanto. 1997. Perlindungan Anak – Prinsip dan Persoalan Mendasar. Jurnal Ilmiah. Nomor 2, Volume 3, Desember 2006. Bandung: LPAI
Muhammad Joni. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konveksi Hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Pos Kota. Dua Pelaku Human Trafficking di Tangkap. Edisi 7 Oktober 2006.

TEMPO Edisi 3 Tahun II, Juni 1997, Buletin Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar