Selasa, 21 Desember 2010

Human Trafficking

PERDAGANGAN MANUSIA
(HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

Oleh : Budi Juliardi


I. PENDAHULUAN

Masalah perdagangan manusia atau human trafficking (khususnya anak dan perempuan) di Indonesia saat ini bisa dikatakan berada pada kondisi yang cukup memprihatinkan. Trafficking perempuan dan anak memiliki jaringan perdagangan yang bisa menembus batas provinsi hingga batas negara atau yang bersifat regional bahkan internasional. Anak-anak Indonesia dijual ke luar negeri yang membutuhkan tenaga kerja yang dapat dieksloitasi dan diberi upah rendah. Sementara itu, perempuan dapat dijual kepada “sindikat germo internasional” (catatan: ini merupakan kalimat penulis sendiri) untuk dijadikan pekerja seks. Mulanya mereka diiming-imingi untuk mendapat pekerjaan yang layak oleh “oknum” sindikat ini hingga akhirnya mereka dijual ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Singapura, Hongkong, hingga Thailand dan sebagian negara-negara di Eropa untuk menjadi pekerja seks .
Kemiskinan harus diakui menjadi “momok” yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang sampai sekarang belum bisa keluar dari problem tersebut. Faktor ekonomis ini menjadi modus operandi utama perdagangan manusia tersebut yang lebih banyak berkedok penawaran lapangan kerja, sehingga menyeret sebagian perempuan dan anak-anak Indonesia ke dalam praktek trafficking.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh ILO pada tahun 2003 di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat, memperkuat bahwa trafficking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh faktor ekonomi dan sosial budaya. Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat perempuan, anak-anak, dan orang tua rentan dieksplotasi oleh para pelaku trafficking. Disamping itu terdapat juga diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor pendorong lainnya. Anak-anak dan perempuan yang di-trafficking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual.

II. KONSEPSI DAN BENTUK TRAFFICKING
Human Trafficking (khusunya anak dan perempuan) secara konseptual adalah “pemindahan” dari dukungan sosial atau keluarganya melalui proses direkrut, dikirim, dipindahkan, ditampung, dan diterima oleh perseorangan atau kelompok dengan menggunakan kekerasan, penculikkan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan seseorang untuk tujuan eksploitasi seksual, pornografi, kerja paksa, prostitusi dan bentuk-bentuk lain serupa perbudakan. Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern.
Definisi trafficking yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengatakan bahwa trafficking adalah:
Perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

Dari definisi yang diberikan dalam protokol PBB tahun 2000 tersebut di atas, setidaknya ada tiga tahap bagaimana kejahatan trafficking itu terjadi. Pertama, proses, meliputi perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan. Kedua, jalan atau cara, meliputi ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Dan ketiga, tujuan, yaitu prostitusi atau ponografi atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan. Jika ketiga tahapan tersebut terpenuhi, maka satu kasus dapat dikatakan sebagai human trafficking atau perdagangan manusia.
Trafficking, menurut American Center for International Labor Solidarity (ACILS) tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat korban rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma kejiwaan (psikologi) dan bahkan kematian . Pelaku trafficking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan fisik untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi, pornografi, kerja paksa, perbudakan dan lain-lain. Pelaku trafficking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh para pelaku terhadap korban antara lain :
1) Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri; 2) menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi; 3) memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur; 4) mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya; 5) membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong; 6) membuat korban tergantung pada pelaku trafficking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan 7) memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;

Ada beberapa bentuk trafficking yang terjadi khususnya pada anak-anak dan perempuan baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain, kerja paksa seks dan eksploitasi seks, pembantu rumah tangga, penari, penghibur, penjualan bayi, dan buruh anak. Perlu diingat bahwa kasus perdagangan manusia ini dapat terjadi dalam lingkup domestik antara desa dan kota (urbanisasi) maupun lintas batas negara (trans-nasional).
Contoh nyata terjadi di Medan, dimana dalam pengaduannya kepada pihak kepolisian, korban L, 16, warga Medan sebelum berangkat ke Malaysia mendapat paspor dari agennya atas nama Vivi Aryanti, berumur 23 tahun. Ini dilakukan, supaya korban bisa masuk ke Malaysia, katanya. Setelah sampai di negeri Jiran itu, korban yang semula dijanjikan mendapat jodoh orang Malaysia, kemudian dipaksa melayani pria hidung belang. Jadi, dalam kasus ini, modus yang digunakan tersangka tergolong baru, yaitu biro jodoh. Hasil pemeriksaan sementara pihak kepolisian, kegiatan itu sudah berlangsung lama dilakukan oleh terangka dan beberapa orang koleganya. Sedangkan korbannya diduga masih banyak yang 'terjebak' di Malaysia sebagai pekerja seks (PSK).
Korban L, 16, yang 'terjerat' taktik tersangka dirayu akan dinikahkan dengan pria bekebangsaan Malaysia. Karena alasan ekonomi, perempuan lugu itu menerima tawaran itu, meski usianya masih di bawah umur. Untuk mengelabui petugas imigrasi, tersangka mengubah identitas korban menjadi Vivi Aryanti, berumur 23. Dengan identitas fiktif, korban berhasil menginjakan kakinya di Malaysia. Namun sesampainya di Malaysia, korban justru dipaksa melayani nafsu pria hidung belang di sebuah losmen. Bahkan dalam sehari menurut pengakuan korban, penah melayani lima pria. Korban sempat menanyakan hal itu kepada orang yang membawanya, tapi dia diancam, dan tidak berani lagi menanyakannya.
Untuk keluar dari lokalisasi itu, korban berpura-pura sakit dan minta dipulangkan ke Indonesia untuk berobat pada 9 Mei 2008, namun saat itu permintaanya belum dipenuhi. Korban akhirnya dipulangkan via Tanjungbalai, belum lama ini, setelah sampai, korban didampingi keluarganya kemudian membuat pengaduan kepada polisi.
Kondisi geografis Indonesia yang kepulauan disinyalir sangat rentan terhadap praktek-praktek kejahatan kemanusian ini. Dengan banyaknya pelabuhan-pelabuhan di Indonesia membuat Indonesia di identifikasikan sebagai negara yang menjadi pengirim, tempat transit dan penerima korban trafficking. Ada tiga pintu perdagangan yang cukup besar di Indonesia, antara lain Batam, Entikong (Kalimantan Barat), dan Manado, dimana kesemua daerah ini pengawasan terhadap perbatasannya sangat lemah dan sering dijadikan jalur penyeludupan manusia secara ilegal menuju Malaysia, Singapura, Thailand, hingga Hongkong dan Arab Saudi.
Disinyalir bahwa bidang pekerjaan yang rawan untuk terjadinya perdagangan manusia ini adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Intinya, kompleksitas penyebab terjadinya trafficking di Indonesia memang membutuhkan perhatian khusus dan komitmen yang kuat dari berbagai elemen masyarakat. Maraknya perdagangan manusia juga berkembang pesat karena bisnis ini menjanjikan keuntungan yang sangat besar, seperti bisnis haram lainnya, sehingga tidak mengherankan bisnis perdagangan manusia ini merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan senjata dan narkotika . Ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, lemahnya penegakkan hukum, perbatasan antar negara yang rentan terhadap penyeludupan manusia, dan lain sebagainya membuat para pelaku trafficking lebih leluasa untuk menggaet korbannya dengan berbagai bujuk rayu.

III. PANDANGAN DUNIA INTERNASIONAL TERHADAP TRAFFIKING
Perdagangan manusia (human trafficking) memang telah cukup lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Dunia internasional telah bereaksi terhadap masalah human trafficking ini. PBB juga telah mengeluarkan pernyataan tegas dan membangun jaringan dengan negara-negara yang mengalami masalah ini dalam proses penanganannya. Khusus untuk Indonesia, isu perdagangan manusia (khusunya anak dan perempuan) mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tak kala ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lainnya pada peringkat ke-tiga atau terendah dalam merespon isu ini. Negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai negara yang tidak mempunyai standar pengaturan tentang perdagangan manusia dan tidak mempunyai komitmen untuk mengatasi masalah ini.
Menanggapi desakan-desakan internasional tersebut pemerintah Indonesia kemudian berupaya keras merespon dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi persoalan perdagangan manusia. Kebijakan penting yang dihasilkan kemudian adalah munculnya Keputusan Presiden No 88 Tahun 2003 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak yang di tanda tangani pada tanggal 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Tidak itu saja, di parlemen juga di sahkan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pada bulan Februari 2004 di Pulau Batam, terjadi pertemuan empat negara yaitu Amerika Serikat (AS), Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pertemuan itu membahas tentang upaya memerangi kejahatan kemanusiaan bersindikat internasional, yaitu perdagangan manusia (human trafficking). Pertemuan itu diprakarsai langsung oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan AS dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional. AS mengajak tiga negara dikawasan Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menolerir perdagangan manusia. AS juga meminta agar semua negara tidak menjadikan perempuan, seks, dan perbudakan sebagai objek penghasil uang.
Tujuan pertemuan tersebut tidak lain adalah ingin merumuskan tiga agenda aksi yang harus dilakukan LSM dan aparat penegak hukum dalam memerangi trafficking, yaitu penanggulangan korban, pencegahannya, dan penegakan hukum kasus-kasus trafficking. Yang tak kalah penting, salah satu butir rekomendasi konferensi, menjadikan Batam sebagai pelopor memerangi kasus-kasus perdagangan manusia. Mengingat daerah ini sebagai tempat transit sebagian besar perempuan dan anak yang akan diperdagangkan ke luar negeri.
Namun dalam perjalanannya ternyata Indonesia dinilai masih belum serius dalam menangani dan mencegah terjadinya perdagangan manusia. Walaupun dalam beberapa kasus, perbuatan human trafficking ini dapat digagalkan dan pelakunya dapat diringkus, seperti pemberitaan yang menyatakan 2 pelaku human trafficking di Medan diringkus , pembongkaran jaringan penjual Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk dijadikan pekerja seks ke Malaysia di Banyuwangi , penangkapan 3 germo pelaku human trafficking untuk dijadikan penjaja seks di Bogor , dan kasus lainnya. Akan tetapi, menyusul invenstigasi yang dikeluarkan US Departement of State atau Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat pada 5 Juni 2006 lalu yang meletakkan posisi Indonesia sama dengan Malaysia dan Kamboja. Indonesia diturunkan peringkatnya karena dianggap gagal oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam memberikan bukti terhadap adanya peningkatan usaha-usaha untuk memerangi perdagangan manusia, yaitu salah satunya perangkat hukum yang bisa mengancam para pelaku perdagangan manusia.
Memang upaya pemerintah dalam melindungi warganya dari tindak perdagangan manusia dinilai oleh beberapa kalangan masih belum optimal. Koordinasi aparat penegak hukum untuk mencegah dan menindak sindikat perdagangan manusia belum bisa dikatakan berhasil. Walaupun sudah banyak kasus-kasus yang mengindikasikan trafficking telah dibongkar oleh aparat kepolisian. Namun tetap saja, materi hukum yang kita punya sekarang tidak cukup untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan manusia (human trafficking).

PENUTUP
Dari uraian panjang diatas menurut saya setidaknya ada dua hal yang harus menjadi agenda kebijakan strategsi pemerintah dalam mencegah dan memberantas praktek trafficking di Indonesia yaitu melalui pendidikan dan penegakkan hukum (undang-undang), dimana pemerintah harus tegas dalam melaksanakan hukum yang mengatur tentang pencegahan human traffiking dan memberikan sanksi tegas pada pelakunya.
Khusus mengenai peningkatan pendidikan, upaya telah menjadi perhatian semua pihak dan keberpihakan tersebut terutama ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Pemerintah harus memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat miskin untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, secara gratis dan cuma-cuma. Pemerintah perlu mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berpihak kepada orang miskin (pendidikan untuk orang miskin) dan juga yang dapat menggembangkan keterampilan
Pendidikan yang ditawarkan di Indonesia saat ini sangat mahal dan biayanya sulit dijangkau oleh orang-orang miskin. Karenanya, mereka memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka, sebab beban biaya pendidikan yang ada, tidak sebanding dengan kemampuan keuangan mereka. Bahkan anak-anak mereka yang usia sekolah harus bekerja menjadi tulang punggung bagi perekonomian keluarga. Kondisi seperti ini sangat rentan bagi anak terjerumus ke dalam praktek-praktek trafficking.

REFERENSI

Abdul Rahman Siregar. 1996. Praktek yang Dilaksanakan Pemerintah Indonesia dalam Mengikatkan Diri Terhadap Perjanjian Internasional”. Skripsi. Padang: Fakultas Hukum Unand

Harian Kompas. Aparat Harus Tanggap Modus Human Trafficking. Edisi Selasa, 8 Juli 2008.

Harian Merdeka. Bongkar Jaringan Penjual TKW. Edisi 25 Juli 2004

_____________. 12 Perempuan Korban Trafficking segera Dipulangkan. Edisi 4 Juni 2008.

Harry Truman. 2005. Kebijakan Pemerintah dalam Memberantas Kejahatan Kemanusiaan (Human Traffiking). Jurnal ilmiah. Nomor ISSN: 0216-1370. Yogyakarta: LPM UNY

Irwanto. 1997. Perlindungan Anak – Prinsip dan Persoalan Mendasar. Jurnal Ilmiah. Nomor 2, Volume 3, Desember 2006. Bandung: LPAI
Muhammad Joni. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konveksi Hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Pos Kota. Dua Pelaku Human Trafficking di Tangkap. Edisi 7 Oktober 2006.

TEMPO Edisi 3 Tahun II, Juni 1997, Buletin Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
PEREBUTAN KEPULAUAN SPRATLY
Oleh: Budi Juliardi, SH

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asia Tenggara merupakan sebuah kawasan di benua Asia bagian tenggara. Kawasan ini mencakup Indochina dan Semenanjung Malaya serta kepulauan di sekitarnya. Asia Tenggara berbatasan dengan Republik Rakyat China di sebelah Utara, Samudera Pasifik di Timur, Samudera Hindia di Selatan, dan Samudra Hindia, Teluk Benggala, dan anak Benua India di Barat.
Asia Tenggara, seperti juga di kawasan lainnya, memiliki problem atau masalah yang sudah menjadi isu dunia. Beberapa problem utama di kawasan Asia Tenggara adalah kemiskinan, kriminalitas, kesehatan, dan keamanan. Problem-problem utama tersebut bentuknya seperti masalah klaim wilayah dan konflik perbatasan, money laundry, trafficking, narkoba, illegal logging, illigal fishing, perompakan, terorisme, penyelundupan senjata, kejahatan ekonomi, kejahatan dunia maya, separatisme, flu burung, bencana alam, dan masalah lainnya. Problem-problem sosial ini dalam perkembangannya akan muncul menjadi konflik, baik vertikal atau horisontal, bahkan bisa sampai bersifat laten atau manifest.
Khusus mengenai konflik yang berakar dari klaim wilayah, dalam makalah ini akan dibahas tentang sengketa kepulauan Spratly yang mencerminkan adanya konflik dalam konteks tersebut antar negara di Asia Tenggara, bahkan dengan negara kawasan lain. Kandungan minyak di Kepulauan Spratly ditenggarai menjadi penyebab konflik. China dengan jumlah penduduk yang mencapai seperempat penduduk dunia diperkirakan mengkonsumsi minyak 2,5 miliar barel per kapita per tahun. Hal inilah yang mengindikasikan betapa besar ambisi Cina untuk menguasai ladang minyak di Asia Tenggara, khususnya di Kepulaua Spratly.
Akan tetapi, klaim China ini menimbulkan tantangan dari Vietnam yang merasa berhak terhadap Kepulauan Spratly. Bahkan pada bulan April tahun 1988 terjadi ketegangan di kepulauan Spratly antara Vietnam dengan RRC. Dua puluh kapal perang RRC yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan mencegat Angkatan Laut Vietnam sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan antara RRC dan Vietnam ini merupakan bagian dari rentetan bentrokan bersenjata sebulan sebelumnya yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Peristiwa ini dikenal sejak itu sebagai peristiwa 14 Maret 1988.
Pertikaian di kepulauan tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama dan aktor yang berperan di dalamnya tidak hanya Vietnam dan RRC, tetapi juga melibatkan Taiwan dan dua negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina. Sebab dasarnya dapat dilacak kembali ke klaim historik yang beranekaragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah penentuan batas. Pemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar permasalahan ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau Landas Kontinen.
Spratly merupakan sebuah gugusan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau karang kira-kira jumlahnya sebanyak 600-an dan 100-an diantaranya kerap tertutup permukaan air laut jika sedang pasang. Jika diamati, peta yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat, namanya akan disebut berbeda-beda. Filipina menyebutnya Kalayaan (tanah kebebasan), Vietnam menamainya Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya Nansha Qundao. Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut diisyaratkan sebagai milik negara yang memberikan nama. Persoalannya hampir mirip dengan kasus nama Malvinas dan Falkland yang melahirkan konflik Argentina dan Inggris. Nama internasional yang lazim diberikan kepada gugusan pulau itu ialah Spratly. Letaknya di sebelah Utara Sabah agak condong ke arah Barat Laut dan di sebelah Barat daya Filipina.
Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas wilayah-wilayah yang diklaim itu. Persoalannya menjadi lebih berat karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih karena masing-masing negara mendasarkan klaimnya pada “kebenaran” versinya sendiri, baik historis maupun legal formal. Hal yang kemudian menarik untuk disoroti adalah proses penguasaan dan dasar argumentasi yang dikemukakan masing-masing negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat di Spratly.
Klaim ini terjadi karena adanya “kepentingan” antar negara yang melakukan klaim. Kepentingan ini didasari oleh adanya keuntungan yang akan diperoleh dari Pulau Spratly. Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa latar belakang klaim masing-masing negara yang bersengketa terhadap kepemilikan atas Kepulauan Spratly?
2. Apa arti penting Spratly sehingga menjadi rebutan negara yang bersengketa?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
1. Latar belakang klaim masing-masing negara yang bersengketa terhadap kepemilikan atas Kepulauan Spratly
2. Arti penting Spratly sehingga menjadi rebutan negara yang bersengketa

BAB II. PEMBAHASAN
A. Klaim Negara-negara yang Bersengketa Atas Kepulauan Spratly
1. Klaim Republik Rakyat China (RRC)
Klaim RRC terhadap Spratly didasarkan pada sejumlah catatan sejarah dan dokumen-dokumen kuno. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut RRC menyatakan bahwa kepulauan Spratly secara historis merupakan wilayah keuasaan Cina sejak masa kekaisaran Dinasti Han, kira-kira 200 tahun SM sampai ke masa Dinasti Ming dan Dinasti Ching yang berkuasa pada tahun 1400-an M. Klaim RRC tersebut diperkuat dengan data bahwa pada tahun 1909 mereka telah merebut sejumlah Pulau Xisha (Paracel) dan pada tahun 1946, RRC juga merebut Pulau Itu Aba (Spratly).

2. Klaim Vietnam
Vietnam menentang pendapat RRC dengan menyebutkan bahwa Kaisar Gia Long dari Vietnam pada tahun 1802 telah mencantumkan Spratly sebagai wilayah kekuasaannya. Nelayan Vietnam pun telah lama sebelumnya melakukan pelayaran ke dan di wilayah kepulauan Spratly itu.

3. Klaim Filipina
Filipina mengajukan klaim berdasarkan prinsip res nullius, yaitu prinsip kewilayahan tak bertuan atau wilayah yang tidak dimiliki oleh setiap negara manapun. Untuk menambah argumentasinya, Filipina mengemukakan bahwa Jepang telah menguasai kepulauan tersebut selama Perang Dunia II dan meninggalkannya setelah kekalahannya tanpa menyebutkan kepada siapa kepulauan tersebut akan diserahkan.

4. Klaim Malaysia
Malaysia mengklaim bahwa sebagian dari kepulauan Spratly merupakan wilayah negara bagian Sabah. Karena itu seringkali dijumpai perbedaan garis peta antara yang dibuat oleh Malaysia dengan Filipina. Akhirnya, Taiwan mengklaim kepulauan Spratly sebagai bagian dari warisan kekaisaran Cina dengan dalih yang sama dengan dalih klaim yang diajukan RRC.

B. Arti Penting Spratly Sehingga Menjadi Rebutan
Kawasan Spratly hanya tergambar sebagai sekumpulan bintik saja di peta bumi, dan bahkan sebagian daripadanya tak terlihat sama sekali. Banyaknya aktor yang terlibat dalam perebutan kawasan tersebut lalu menjadi sebuah pertanyaan yang menarik melihat apa kepentingan mereka. Secara ekonomi kepulauan Spratly diperkirakan mengandung bahan-bahan tambang yang sangat kaya, seperti minyak dan alumunium. Penguasaan Jepang atas kepulauan Spratly pada masa Perang Dunis II sebenarnya didorong oleh kebutuhan akan bahan tambang, seperti fosphat. Tidak hanya bahan tambang, perairan di sekitar kepulauan Spratly juga kaya akan ikan. Nelayan-nelayan Filipina telah lama berlayar menangkap ikan di perairan tersebut.
Kekayaan sumber alam yang besar, itulah yang menyebabkan wilayah ini menjadi rebutan banyak pihak. Ikut masuknya RRC ke wilayah yang diklaim Filipina tersebut dapat pula lebih mengukuhkan dalih tersebut. Nillai potensi ekonomis wilayah kepulauan Spratly diperkirakan sangat tinggi sehingga pantas dikhawatirkan akan menjadi sumber konflik jika tidak diselesaikan sejak sekarang. Diakuinya Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil dan makin majunya teknologi untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber-sumber laut kian memperbesar kekhawatiran itu. Landas Kontinen Laut Cina Selatan diperkirakan mempunyai kekayaan minyak. Di samping itu, perikanan Laut Cina Selatan mencapai lima juta ton setiap tahun pada tahun 1978 dan tentunya masih dapat ditingkatkan.
Diperkirakan pula terdapat gunung-gunung di bawah permukaan laut kepulauan Spratly. Muara sungai Mekong dan sungai-sungai lain memasok banyak ke daerah itu. Berdasarkan penelitian, wilayah Spratly menyimpan simpanan sendimen minyak. RRC yang aktif melakukan penelitian di wilayah ini menyatakan bahwa kawasan Spratly juga kaya akan sumber-sumber energi, pangan, dan mineral.
Selain memiliki nilai ekonomi, Laut Cina Selatan juga bernilai sebagai jalur pelayaran yang sangat strategis. Laut ini menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik melalui Selat Malaka dan menghubungkan Asia Timur dengan benua Eropa dan Afrika. Oleh karena itu, jalur pelayaran ini banyak digunakan oleh armada-armada niaga maupun tanker-tanker negara-negara Jepang, Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan lain-lain.
Jepang menggunakan wilayah perairan Laut Cina Selatan sebagai lalu lintas tanker-tanker minyaknya ke dan dari Timur Tengah. Jalur ini merupakan jalur terdekat antara teluk Parsi dan Jepang. Sekitar 50.000 tanker minyak lewat di perairan Asia Tenggara setiap tahunnya dengan mengangkut kurang lebih dari 1890 juta barel minyak mentah ke Jepang. Bagi Amerika Serikat jalur Laut Cina Selatan merupakan salah satu dari empar jalur pelayaran alternatif bagi pelayaran tanker dan armada niaganya untuk pantai barat Amerika Serikat dari teluk Parsi. Jalur ini merupakan jalur terdekat antara teluk Parsi dan California.
Secara geografis, kepulauan Spratly juga sangat strategis untuk menjaga keamanan wilayah beberapa negara. Bagi RRC, kawasan Laut Cina Selatan selalu dianggap sebagai kawasan yang sangat penting untuk menjaga keamanan wilayahnya, tak kalah penting dengan perbatasannya dengan Uni Soviet. Perhatian terhadap wilayah di Laut Cina Selatan semakin meningkat mengingat kehadiran pangkalan-pangkalan militer Uni Soviet di Cam Rahn dan Da Nang, Vietnam. Ketakutan terhadap pengepungan Soviet yang beraliansi dengan Vietnam telah menjadi salah satu pendorong yang cukup kuat bagi RRC untuk menguasai kepulauan Spratly. Tidak mengherankan bahwa konflik RRC dan Vietnam kemudian berkembang sebagai bagian dari usaha untuk mengimbangi kekuatan Uni Soviet di Laut Cina Selatan.
Setelah Uni Soviet mengalami kemunduran dalam negeri sehingga akhirnya bubar dan Amerika terpaksa menarik pangkalan militernya dari Filipina, intensi negara-negara middle power atau regional power diperkirakan akan meningkat. Terutama bila upaya pembangunan ekonomi mereka terganggu sehingga mereka mencari arena baru untuk memperkuat politik luar negerinya.
Vietnam di lain pihak juga memandang kepulauan Spratly sebagai wilayah strategis untuk wilayahnya. Ketakutan terhadap RRC merupakan sikap ketakutan tradisional yang telah berlangsung lama. Vietnam khawatir bahwa kepulauan Spratly akan digunakan oleh RRC untuk memperluas hegemoni regionalnya. Kekhawatiran ini dikaitkan pula oleh penguasaan RRC terhadap kepulauan Parcel di sebelah utara Vietnam pada tahun 1974. Karena itu, persepsi yang ada mengisyaratkan bahwa Spratly hanya merupakan batu loncatan RRC setelah mengusai Parcel untuk selanjutnya menguasai Vietnam. Bagi Filipina, masuknya Jepang ke Filipina melalui kepulauan Spratly menjadi bukti yang kuat bahwa kepulauan tersebut sangat penting bagi Filipina dan menjadi dasar klaim mereka bahwa kepulauan Spratly adalah resmi masuk dalam wilayah Filipina.
Hingga saat ini, konflik Kepulauan Spratly tetap bisa berpotensi menjadi permasalahan yang mengancam stabilitas dan situasi keamanan kawasan. Berlarut-larutnya penyelesaian konflik ini juga bisa menjadi parameter untuk melihat ketidakefektifan lembaga ASEAN dalam menyelesaikan konflik antar anggotanya, serta hubungannya dengan negara di kawasan-kawasan tetangga.

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam menyikapi permasalahan kepulauan Spratly ini diminta negara-negara yang bersengketa harus berpikir dengan kepala dingin agar tidak terjadi konflik bersenjata. Hal ini karena negara-negara yang mengklaim kepulauan Spratly menggunakan dalih-dalih secara historis. Pada prakteknya, kerapkali tuntutan-tuntutan yang berbau legitimasi historis sebenarnya artifisial, terutama dalam konteks internasional. Argumentasi historis biasanya hanya signifikan jika digunakan dalam meja perundingan dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat legal formal. Karena di tingkat internasional tidak terdapat otoritas yang lebih tinggi dari negara, maka sesungguhnya argumentasi historis secara maksimal hanya bermanfaat untuk menarik simpati dunia internasional saja.
Proses penyelesaian konflik secara umum dapat dilakukan melalui beberapa langkah. Langkah yang paling minimal dalam penyelesaian konflik adalah memaksa pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan tindakan kekerasan bersenjata melalui proses gencatan senjata. Proses ini yang disebut sebagai conflict settlement. Untuk menjamin kelanggengan kondisi settlement maka perlu diupayakan langkah yang lebih advance, yaitu mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk membahas sumber konflik serta mecarai solusi melalui kesepakatan damai yang sering disebut conflict resolution.
Setelah kesepakatan damai melalui perjanjian formal resmi ditandatangani pihak-pihak yang bertikai termasuk pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator, maka mulai diupayakan langkah-langkah pembangunan kondisi damai pasca konflik (post-conflict peace building). Keterlibatan pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik mulai dari tahap settlement sampai dengan post-conflict peace building merupakan hal yang penting. Pihak ketiga dalam diklasifikasikan dalam tiga ketegori, yaitu perwakilan pemerintah formal suatu badan internasional atau negara, perwakilan kelompok akademisi atau NGO, dan perwakilan tokoh masyarakat. Peran yang dijalankan pihak ketiga tersebut adalah mulai dari melakukan pendekatan terhadap pihak-pihak yang bertikai, mulai dari tahap negoisasi, mediasi, sampai intervensi apabila memang dibutuhkan.
Kemudian dalam tahap resolusi konflik, pihak ketiga akan berperan sebagai mediator maupun fasilitator. Sedangkan dalam tahap post-conflict peace building, pihak ketiga biasanya melakukan kerjasama secara sinergis mulai dari langkah-langkah state building, pemulihan peran institusi politik dan pemerintah, dan menghadirkan lembaga maupun negara donor untuk proses pembangunan ekonomi. Selanjutnya peran NGO adalah melakukan penguatan peran dari masyarakat sipil dan mempromosikan good governance kepada pihak penguasa serta rekonsiliasi hubungan pihak-pihak yang bertikai.
Persoalan utama dari masalah ini adalah persoalan sengketa wilayah. Ini adalah suatu masalah atau isu yang sangat krusial dan peka dalam kehidupan negara-negara bangsa modern yang bersifat sekular dan teritorial. Untuk itu solusi dari masalah internasional yang melibatkan cukup banyak negara yang bertikai seperti ini adalah melalui perundingan-perundingan yang difasilitasi pihak ketiga dan semua negara yang bertikai patuh pada hukum atau konsesi-konsesi internasional yang berlaku. Memang butuh waktu, tetapi dengan kesabaran dan sikap saling menghargai saya pikir masalah ini pasti akan dapat diselesaikan dengan baik dan pihak-pihak yang bertikai nantinya akan mampu menghormati pihak yang akhirnya memenangkan klaim atas kepulauan Spratly.

DAFTAR PUSTAKA
Bantarto Bandoro dan Ananta Gondomono. 1997. ASEAN dan Tantangan Satu Asia Tenggara. Jakarta: CSIS.

Alo Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LKIS.

CPF Luhulima. 1997. ASEAN Menuju Postur Baru. Jakarta: CSIS.

Miall, Hugh, et.al. 1991. Contemporary Conflict Resolution. United Kingdom: Polity Press

Soetandyo Wignjosoebroto (peny). 1992. Asia Tenggara Pasca Kamboja Antisipasi Indonesia. Jakarta-Surabaya: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Universitas Airlangga.

Sabtu, 29 Mei 2010


SENGKETA KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN (INDONESIAMALAYSIA)
Oleh : Budi Juliardi, SH


A. PENDAHULUAN
Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, muncul kemudian beberapa perjanjian internasional, baik secara khusus mengatur maupun memuat beberapa tentang penyelesaian sengketa. Sejak dibentuknya PBB, diatur pula cara penyelesaian sengketa secara damai dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya: a) Negosiasi; b) Enquiry atau penyelidikan; c) Mediasi; d) Konsiliasi; e) Arbitrase; f) Judicial Settlement atau Pengadilan; g) Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam PBB di atas, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Berbagai kasus atau konflik pernah terjadi di muka bumi ini, dan dalam posedur penyelesaiannya selalu menggunakan ketentuan, konsep, dan teori yang ditentukan dalam hokum internasional. Dalam kajian ini, penulis membahas mengenai konflik antara Indonesia dengan Malaysia berkaitan dengan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dan pembahasannya berdasarkan ketentuan Hukum Internasional. Jadi, yang ingin dikaji adalah apakah proses penyelesaian konflik itu sudah berlandaskan pada ketentuan Hukum Internasional atau tidak.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan (memiliki banyak pulau) dan bertetangga dengan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sebagai negara yang saling berdekatan, wajar bila sering timbul pertentangan atau perselisihan antar negara-negara tersebut. Contohnya, Malaysia pernah bersengketa dengan Singapura mengenai kepemilikan Pulau Batu Puteh. Terdapat juga persengketaan klaim tumpang tindih mengenai kepemilikan kepulauan Spratly oleh negara China, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Demikian juga dengan persengketaan Indonesia dengan Malaysia tentang kepemilikian Pulau Sipadan dan Ligitan.
Disadari atau tidak, perselisihan atau pertikaian antar negara sudah wajar terjadi, apalagi bagi negara yang saling berdekatan/bertetangga. Namun persengketaan tersebut jika dibiarkan terus berlarut-larut maka akan berakibat putusnya hubungan baik antar 2 negara, bahkan lebih buruk lagi dapat memicu meletusnya perang. Untuk itu, perseteruan antar 2 negara yang bersengketa harus segera dapat dicarikan solusi perdamaian, dan lembaga internasional yang berwenang untuk menangani dan menyelesaikan masalah perselisihan tersebut adalah Mahkamah Internasional.
Jadi, dalam hal ini, keputusan yang dikeluarkan berkaitan dengan konflik kepemilikan Pulai Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia sudah sesuai dengan ketentuan, konsep, dan teori Hukum Internasional, dimana proses penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum ke Mahkamah Internasional.
B. BAHASAN MENGENAI PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI KETENTUAN, TEORI, DAN KONSEP HUKUM INTERNASIONAL
1. Latar Belakang Timbulnya Sengketa
Indonesia dengan Malaysia memulai persengketaan mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan sejak puluhan tahun lalu. Makin lama persengketaan itu semakin meruncing. Masing-masing fihak mengklaim bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah negaranya. Indonesia menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan termasuk ke dalam wilayah Negara Indonesia. Dasar hukumnya adalah pada masa penjajahan Belanda, kedua pulau tersebut dimasukkan oleh belanda ke dalam batas wilayah Indonesia melalui Konvensi 1891. Di pulau itu juga diberlakukan - seperti pulau-pulau lain di Indonesia - pemberian daerah kerja pertambangan migas, walaupun pada realitanya kedua pulau tersebut tidak dimasukkan dalam pemetaan wilayah Republik Indonesia dan tidak dimasukkan pula ke dalam batasan wilayah perairan Indonesia yang diatur dalam UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia.
Bila mengacu pada pemetaan dan UU No. 4/1960, pemerintah RI menyatakan bahwa itu bukan berarti pulau tersebut bukan milik Indonesia karena tak masuk ke dalam garis pangkal perairan wilayah Indonesia, karena ternyata diluar garis pangkal pun ada sejumlah pulau lain yang menjadi milik Indonesia dan tidak dimasukkan dalam pemetaan. Selain ini, Indonesia juga mendasarkan kepemilikannya atas kedua pulau pada Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dengan Inggris (Conventional Title).
Di lain fihak, Malaysia mendasarkan kepemilikannya terhadap kedua pulau itu pada suatu rangkaian transaksi (Chain of Title) yang dimulai dengan kepemilikan Sultan Sulu atas kedua Pulau itu sebelum kemudian beralih Inggris dan baru kepada Malaysia. Lebih lanjut, Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut diperoleh dari fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu (effectivities). Bahkan Malaysia sudah memasukkan kedua pulau yang dimaksud ke dalam peta nasional negaranya pada tahun 1979. Lebih lanjut, sejak tahun 1974, mereka telah membangun infrastruktur dan melakukan kegiatan ekonomi dan pariwisata di kedua pulau tersebut.
Problema di atas kemudian menimbulkan sengketa. Kedua belah fihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing. Berbagai perundingan regional telah dilakukan, seperti pertemuan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhamad pada tahun 1969, namun tidak satupun yang membuahkan hasil. Akhirnya kedua negara sepakat membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.
2. Proses Penyelesaian Sengketa Hingga Kemenangan Klaim Malaysia
Persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan mulai muncul sejak tahun 1969, tepatnya ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia dan Tim Teknis Landas Kontinen Malaysia membicarakan/mengadakan perundingan mengenai batas dasar laut antar kedua negara di Kuala Lumpur pada tanggal 9-22 September 1969. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa sambil menunggu penyelesaian sengketa atas kedua pulau, kedua pihak agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau tersebut. Sengketa ini kemudian dibicarakan kembali dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhamad di Yogyakarta pada tahun 1989. Setelah melalui serangkaian perundingan dan pertemuan yang intensif berupa senior official meeting, joint commision metting (komisi bersama), dan joint working group (kelompok kerja bersama), kedua belah pihak berkesimpulan bahwa sengketa mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan ini sulit utuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.
Menyadari kenyataan tersebut, kedua pihak kemudian sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai “Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute beetwen Indonesian and Malaysia Concerning the Sovereignty over Pulau Lilgitan and Pulau Sipadan”, atau “Perjanjian khusus untuk patuh pada keputusan Mahkamah Internasional dalam perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan”, di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997. Special Agreement ini disampaikan kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 2 Nopember 1998 melalui suatu joint letter atau notifikasi bersama.
Masalah pokok yang dimintakan keputusan dari Mahkamah Internasional adalah mengenai negara mana yang memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada serta bukti dan dokumen-dokumen yang tersedia, apakah milik Indonesia atau Malaysia? Selama ini Indonesia mendasarkan kepemilikannya atas kedua pulau pada Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dengan Inggris (Conventional Title). Di lain fihak, Malaysia selama ini mendasarkan kepemilikannya terhadap kedua pulau itu pada suatu rangkaian transaksi (Chain of Title) yang dimulai dari kepemilikan Sultan Sulu atas kedua pulau yang dimaksud. Lebih lanjut, Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut diperoleh dari fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu (effectivities).
Sesuai dengan prosedur Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua pihak (Indonesia dengan Malaysia) harus menyampaikan argumentasi tertulis (Written Pleadings) dan argumentasi lisan (Oral Hearings). Malaysia akan menyampaikan argumentasi lisannya pada tanggal 6-7 Juni 2002 serta menyampaikan jawaban atas argumentasi lisan Indonesia pada tanggal 12 Juni 2002.
Guna menangani masalah itu, pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Penanganan Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan. Tim tersebut telah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh bukti-bukti kepemilikan Indonesia atas kedua pulau tersebut. Dengan dibantu oleh para pengacara internasional, diantaranya adalah Prof. Alaian Pellet dari Perancis dan Prof. Alfred Soons dari Belanda. Tim ini secara intensif dan berkesinambungan telah menyiapkan berbagai argumentasi hukum yang dituangkan ke dalam bentuk Memorial, Counter Memorial, dan Reply.
Dari sinilah awal dimulainya proses ligitasi mengenai persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia di Mahkamah Internasional. Lebih lanjut, langkah-langkah yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah dengan melakukan proses persidangan melaui mekanisme tahapan sebagai berikut:
a. Menerima Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application) dari pihak Indonesia dan Malaysia
Bagian awal proses beracara dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Inti sengketa adalah mengenai kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Lebih lanjut, karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara Indonesia atau Malaysia yang disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka Mahkamah Internasional kemudian membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, yaitu Indonesia/Malaysia.
Surat perjanjian ini kemudian diserahkan kepada register mahkamah, kemudian register mahkamah melengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan Statuta Mahkamah dan Aturan Mahkamah. Selanjutnya, register mahkamah mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut kepada kedua belah pihak dan kepada negara-negara anggota dari Mahkamah Internasional. Kemudian hal tersebut dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release versi dua bahasa (Perancis dan Inggris). Setelah didaftar, perjanjian tersebut dialih-bahasakan dan dicetak, lalu dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB dan kepada negara-negara yang mengakui jurisdiksi Mahkamah Internasional, juga kepada setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di Mahkamah Internasional.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di Mahkamah Internasional, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi (oral pleadings) yang akan disampaikan oleh masing-masing pihak (Indonesia dan Malaysia). Pada dasarnya, Mahkamah Internasional memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan.
b. Memberikan Kesempatan Kepada Para Pihak Untuk Memberikan Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Tahap ini dilakukan pada tanggal 2 Nopember 1999. Pada tahap ini para pihak (Indonesia dan Malaysia) diberi kesempatan untuk menyampaikan posisi masing-masing melalui argumentasi tertulis tentang keabsahan masing-masing pihak atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan memorial atau pernyataan fakta dan dasar hukum yang relevan mengenai kedaulatan masing-masing negara terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan.
Langkah tersebut dilanjutkan dengan “Counter Memorial” atau argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial yang telah dibacakan masing-masing pihak sebelumnya, tambahan fakta baru jika diperlukan, serta jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta oleh Mahkamah Internasional dan dibacakan pada tanggal 2 Agustus 2000.
Selanjutnya, pihak Indonesia dan Malaysia kemudian meminta kesempatan pertimbangan untuk mengajukan jawaban atau reply atas Counter memorial masing-masing pihak. Mahkamah Internasional menyetujuinya dan menetapkan pemberian jawaban atau “reply” atas counter memorial pada tanggal 2 Maret 2001.
c. Memberikan Kesempatan Kepada Para Pihak Untuk Memberikan Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. Oral Pleding adalah langkah persidangan tahap akhir yang dilakukan pada tanggal 3 Juni 2002 dan berlangsung hingga tanggal 12 Juni 2002. Langkah ini merupakan kelanjutan dari proses argumentasi tertulis (written pleadings) yang selesai pada akhir Maret 2001.
Pada tahap ini, kedua belah pihak (Indonesia dan Malaysia) akan menyampaikan argumentasi berupa sikap dan posisinya secara lisan, baik yang bersifat politis maupun penekanan argumentasi yuridis. Menteri Luar Negeri selaku pemegang kuasa hukum (agent) dari pihak Indonesia dalam kasus ini menyampaikan argumentasi lisannya (Agent’s speech) yang diikuti oleh presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan oleh Tim Pengacara RI hingga tanggal 4 Juni 2002. Sementara pada tanggal 10 Juni 2002, Indonesia kemudian menyampaikan jawaban atas argumentasi lisan dari pihak Malaysia.
d. Memberikan Keputusan (Judgment) Mengenai Pihak Mana Yang berhak Atas Pulau Sipadan dan Ligitan
Setelah memakan waktu persidangan selama kurang lebih 3 (tiga) tahun, dan terakhir telah melalui proses oral hearings dan masing-masing pihak diminta untuk menunggu selama 6 bulan, akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002, tepatnya pada pukul 17:45 WIB, berkedudukan di Den Haag, Mahkamah Internasional kemudian membacakan keputusannya mengenai sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Dari 17 (tujuh belas) orang Juri, 16 (enam belas) orang memenangkan Malaysia sebagai pemilik Pulau Sipadan dan Ligitan, sedangkan Indonesia hanya dipihaki oleh 1 (satu) orang Juri.
Dengan itu, Mahkamah Internasional telah menjatuhkan keputusan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan didasarkan atas pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pemungutan pajak, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan Malaysia yang telah melakukan kegiatan pariwisata di kedua pulau tersebut tidak menjadi pertimbangan.
Pada pihak lain, mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang hanya bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di wilayah Kalimantan. Garis paralel 4° 10’ LU ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah suatu negara sejauh 3 mil. Sebaliknya, mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Pemerintah RI menerima keputusan tersebut, karena keputusan Mahkamah Internasional adalah keputusan final yang tidak bisa dilakukan banding. Diharapkan dengan keputusan tersebut dapat membuka babakan baru bagi hubungan Indonesia–Malaysia ke arah yang lebih bersahabat, dewasa, dan produktif.
Pada masalah persengketaan ini, Mahkamah Internasional terlibat secara aktif dalam menangani perkara berdasarkan pada prosedur, teori, ketentuan, dan konsep yang diatur dalam Hukum Internasional, sehingga akhirnya menghasilkan sebuah keputusan final dengan menyatakan bahwa Malaysia sebagai negara yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan.
DAFTAR BACAAN
Ali Sastroamidjojo. SH. 1971. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Bharatara.
Bernard Sihombing. 2009. Keberadaan Pulau Sipadan dan Ligitan. (Online) (Dalam http://www.pulau.com. Diakses tanggal 8 Mei 2010)
Bongas Adhi Chandra. 2009. Sipadan-Ligitan, Kegagakan Diplomasi RI?. (Online) (Dalam http://www.kompas.com. diakses tanggal 8 Mei 2010)
Muhammad Joni. 2009. Tak Ada Lagi Pulau Yang Menjadi Sengketa. (Online) (dalam http://www.erroroccered.com diakses tanggal 8 Mei 2010)
Nani Noerpramono. 2009. Pencantuman Sipadan-Ligitan dalam Peta Indonesia, Malaysia Belum Ajukan Protes. (Online) (Dalam http://www.kompas.com. Diakses tanggal 12 Juni 2009)
Umar Tarmansyah. 2009. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan Sebuah Pelataran Kewaspadaan. (Online) (Dalam http://www.litbang.com. Diakses tanggal 8 Mei 2010)
Nani Noerpramono. 2009. Pencantuman Sipadan-Ligitan dalam Peta Indonesia, Malaysia Belum Ajukan Protes (Online) (Dalam http://www.kompas.com diakses tanggal 12 Juni 2009)
Ibid
Muhammad Joni. 2009. Tak Ada Lagi Pulau Yang Menjadi Sengketa. (Online) (dalam http://www.erroroccered.com diakses tanggal 12 Juni 2009)
Ibid
Bongas Adhi Chandra. 2009. Sipadan-Ligitan, Kegagakan Diplomasi RI?. (Online) (dalam http://www.kompas.com. diakses tanggal 12 Juni 2009).
Ibid
Ibid
Umar Tarmansyah. Op Cit.
Ibid
Muhammad Joni. 2009. OP Cit