Sabtu, 29 Mei 2010


SENGKETA KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN (INDONESIAMALAYSIA)
Oleh : Budi Juliardi, SH


A. PENDAHULUAN
Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, muncul kemudian beberapa perjanjian internasional, baik secara khusus mengatur maupun memuat beberapa tentang penyelesaian sengketa. Sejak dibentuknya PBB, diatur pula cara penyelesaian sengketa secara damai dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya: a) Negosiasi; b) Enquiry atau penyelidikan; c) Mediasi; d) Konsiliasi; e) Arbitrase; f) Judicial Settlement atau Pengadilan; g) Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam PBB di atas, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Berbagai kasus atau konflik pernah terjadi di muka bumi ini, dan dalam posedur penyelesaiannya selalu menggunakan ketentuan, konsep, dan teori yang ditentukan dalam hokum internasional. Dalam kajian ini, penulis membahas mengenai konflik antara Indonesia dengan Malaysia berkaitan dengan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dan pembahasannya berdasarkan ketentuan Hukum Internasional. Jadi, yang ingin dikaji adalah apakah proses penyelesaian konflik itu sudah berlandaskan pada ketentuan Hukum Internasional atau tidak.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan (memiliki banyak pulau) dan bertetangga dengan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sebagai negara yang saling berdekatan, wajar bila sering timbul pertentangan atau perselisihan antar negara-negara tersebut. Contohnya, Malaysia pernah bersengketa dengan Singapura mengenai kepemilikan Pulau Batu Puteh. Terdapat juga persengketaan klaim tumpang tindih mengenai kepemilikan kepulauan Spratly oleh negara China, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Demikian juga dengan persengketaan Indonesia dengan Malaysia tentang kepemilikian Pulau Sipadan dan Ligitan.
Disadari atau tidak, perselisihan atau pertikaian antar negara sudah wajar terjadi, apalagi bagi negara yang saling berdekatan/bertetangga. Namun persengketaan tersebut jika dibiarkan terus berlarut-larut maka akan berakibat putusnya hubungan baik antar 2 negara, bahkan lebih buruk lagi dapat memicu meletusnya perang. Untuk itu, perseteruan antar 2 negara yang bersengketa harus segera dapat dicarikan solusi perdamaian, dan lembaga internasional yang berwenang untuk menangani dan menyelesaikan masalah perselisihan tersebut adalah Mahkamah Internasional.
Jadi, dalam hal ini, keputusan yang dikeluarkan berkaitan dengan konflik kepemilikan Pulai Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia sudah sesuai dengan ketentuan, konsep, dan teori Hukum Internasional, dimana proses penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum ke Mahkamah Internasional.
B. BAHASAN MENGENAI PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI KETENTUAN, TEORI, DAN KONSEP HUKUM INTERNASIONAL
1. Latar Belakang Timbulnya Sengketa
Indonesia dengan Malaysia memulai persengketaan mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan sejak puluhan tahun lalu. Makin lama persengketaan itu semakin meruncing. Masing-masing fihak mengklaim bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah negaranya. Indonesia menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan termasuk ke dalam wilayah Negara Indonesia. Dasar hukumnya adalah pada masa penjajahan Belanda, kedua pulau tersebut dimasukkan oleh belanda ke dalam batas wilayah Indonesia melalui Konvensi 1891. Di pulau itu juga diberlakukan - seperti pulau-pulau lain di Indonesia - pemberian daerah kerja pertambangan migas, walaupun pada realitanya kedua pulau tersebut tidak dimasukkan dalam pemetaan wilayah Republik Indonesia dan tidak dimasukkan pula ke dalam batasan wilayah perairan Indonesia yang diatur dalam UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia.
Bila mengacu pada pemetaan dan UU No. 4/1960, pemerintah RI menyatakan bahwa itu bukan berarti pulau tersebut bukan milik Indonesia karena tak masuk ke dalam garis pangkal perairan wilayah Indonesia, karena ternyata diluar garis pangkal pun ada sejumlah pulau lain yang menjadi milik Indonesia dan tidak dimasukkan dalam pemetaan. Selain ini, Indonesia juga mendasarkan kepemilikannya atas kedua pulau pada Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dengan Inggris (Conventional Title).
Di lain fihak, Malaysia mendasarkan kepemilikannya terhadap kedua pulau itu pada suatu rangkaian transaksi (Chain of Title) yang dimulai dengan kepemilikan Sultan Sulu atas kedua Pulau itu sebelum kemudian beralih Inggris dan baru kepada Malaysia. Lebih lanjut, Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut diperoleh dari fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu (effectivities). Bahkan Malaysia sudah memasukkan kedua pulau yang dimaksud ke dalam peta nasional negaranya pada tahun 1979. Lebih lanjut, sejak tahun 1974, mereka telah membangun infrastruktur dan melakukan kegiatan ekonomi dan pariwisata di kedua pulau tersebut.
Problema di atas kemudian menimbulkan sengketa. Kedua belah fihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing. Berbagai perundingan regional telah dilakukan, seperti pertemuan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhamad pada tahun 1969, namun tidak satupun yang membuahkan hasil. Akhirnya kedua negara sepakat membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.
2. Proses Penyelesaian Sengketa Hingga Kemenangan Klaim Malaysia
Persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan mulai muncul sejak tahun 1969, tepatnya ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia dan Tim Teknis Landas Kontinen Malaysia membicarakan/mengadakan perundingan mengenai batas dasar laut antar kedua negara di Kuala Lumpur pada tanggal 9-22 September 1969. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa sambil menunggu penyelesaian sengketa atas kedua pulau, kedua pihak agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau tersebut. Sengketa ini kemudian dibicarakan kembali dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhamad di Yogyakarta pada tahun 1989. Setelah melalui serangkaian perundingan dan pertemuan yang intensif berupa senior official meeting, joint commision metting (komisi bersama), dan joint working group (kelompok kerja bersama), kedua belah pihak berkesimpulan bahwa sengketa mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan ini sulit utuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.
Menyadari kenyataan tersebut, kedua pihak kemudian sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai “Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute beetwen Indonesian and Malaysia Concerning the Sovereignty over Pulau Lilgitan and Pulau Sipadan”, atau “Perjanjian khusus untuk patuh pada keputusan Mahkamah Internasional dalam perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan”, di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997. Special Agreement ini disampaikan kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 2 Nopember 1998 melalui suatu joint letter atau notifikasi bersama.
Masalah pokok yang dimintakan keputusan dari Mahkamah Internasional adalah mengenai negara mana yang memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada serta bukti dan dokumen-dokumen yang tersedia, apakah milik Indonesia atau Malaysia? Selama ini Indonesia mendasarkan kepemilikannya atas kedua pulau pada Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dengan Inggris (Conventional Title). Di lain fihak, Malaysia selama ini mendasarkan kepemilikannya terhadap kedua pulau itu pada suatu rangkaian transaksi (Chain of Title) yang dimulai dari kepemilikan Sultan Sulu atas kedua pulau yang dimaksud. Lebih lanjut, Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut diperoleh dari fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu (effectivities).
Sesuai dengan prosedur Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua pihak (Indonesia dengan Malaysia) harus menyampaikan argumentasi tertulis (Written Pleadings) dan argumentasi lisan (Oral Hearings). Malaysia akan menyampaikan argumentasi lisannya pada tanggal 6-7 Juni 2002 serta menyampaikan jawaban atas argumentasi lisan Indonesia pada tanggal 12 Juni 2002.
Guna menangani masalah itu, pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Penanganan Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan. Tim tersebut telah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh bukti-bukti kepemilikan Indonesia atas kedua pulau tersebut. Dengan dibantu oleh para pengacara internasional, diantaranya adalah Prof. Alaian Pellet dari Perancis dan Prof. Alfred Soons dari Belanda. Tim ini secara intensif dan berkesinambungan telah menyiapkan berbagai argumentasi hukum yang dituangkan ke dalam bentuk Memorial, Counter Memorial, dan Reply.
Dari sinilah awal dimulainya proses ligitasi mengenai persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia di Mahkamah Internasional. Lebih lanjut, langkah-langkah yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah dengan melakukan proses persidangan melaui mekanisme tahapan sebagai berikut:
a. Menerima Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application) dari pihak Indonesia dan Malaysia
Bagian awal proses beracara dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Inti sengketa adalah mengenai kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Lebih lanjut, karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara Indonesia atau Malaysia yang disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka Mahkamah Internasional kemudian membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, yaitu Indonesia/Malaysia.
Surat perjanjian ini kemudian diserahkan kepada register mahkamah, kemudian register mahkamah melengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan Statuta Mahkamah dan Aturan Mahkamah. Selanjutnya, register mahkamah mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut kepada kedua belah pihak dan kepada negara-negara anggota dari Mahkamah Internasional. Kemudian hal tersebut dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release versi dua bahasa (Perancis dan Inggris). Setelah didaftar, perjanjian tersebut dialih-bahasakan dan dicetak, lalu dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB dan kepada negara-negara yang mengakui jurisdiksi Mahkamah Internasional, juga kepada setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di Mahkamah Internasional.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di Mahkamah Internasional, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi (oral pleadings) yang akan disampaikan oleh masing-masing pihak (Indonesia dan Malaysia). Pada dasarnya, Mahkamah Internasional memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan.
b. Memberikan Kesempatan Kepada Para Pihak Untuk Memberikan Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Tahap ini dilakukan pada tanggal 2 Nopember 1999. Pada tahap ini para pihak (Indonesia dan Malaysia) diberi kesempatan untuk menyampaikan posisi masing-masing melalui argumentasi tertulis tentang keabsahan masing-masing pihak atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan memorial atau pernyataan fakta dan dasar hukum yang relevan mengenai kedaulatan masing-masing negara terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan.
Langkah tersebut dilanjutkan dengan “Counter Memorial” atau argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial yang telah dibacakan masing-masing pihak sebelumnya, tambahan fakta baru jika diperlukan, serta jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta oleh Mahkamah Internasional dan dibacakan pada tanggal 2 Agustus 2000.
Selanjutnya, pihak Indonesia dan Malaysia kemudian meminta kesempatan pertimbangan untuk mengajukan jawaban atau reply atas Counter memorial masing-masing pihak. Mahkamah Internasional menyetujuinya dan menetapkan pemberian jawaban atau “reply” atas counter memorial pada tanggal 2 Maret 2001.
c. Memberikan Kesempatan Kepada Para Pihak Untuk Memberikan Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. Oral Pleding adalah langkah persidangan tahap akhir yang dilakukan pada tanggal 3 Juni 2002 dan berlangsung hingga tanggal 12 Juni 2002. Langkah ini merupakan kelanjutan dari proses argumentasi tertulis (written pleadings) yang selesai pada akhir Maret 2001.
Pada tahap ini, kedua belah pihak (Indonesia dan Malaysia) akan menyampaikan argumentasi berupa sikap dan posisinya secara lisan, baik yang bersifat politis maupun penekanan argumentasi yuridis. Menteri Luar Negeri selaku pemegang kuasa hukum (agent) dari pihak Indonesia dalam kasus ini menyampaikan argumentasi lisannya (Agent’s speech) yang diikuti oleh presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan oleh Tim Pengacara RI hingga tanggal 4 Juni 2002. Sementara pada tanggal 10 Juni 2002, Indonesia kemudian menyampaikan jawaban atas argumentasi lisan dari pihak Malaysia.
d. Memberikan Keputusan (Judgment) Mengenai Pihak Mana Yang berhak Atas Pulau Sipadan dan Ligitan
Setelah memakan waktu persidangan selama kurang lebih 3 (tiga) tahun, dan terakhir telah melalui proses oral hearings dan masing-masing pihak diminta untuk menunggu selama 6 bulan, akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002, tepatnya pada pukul 17:45 WIB, berkedudukan di Den Haag, Mahkamah Internasional kemudian membacakan keputusannya mengenai sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Dari 17 (tujuh belas) orang Juri, 16 (enam belas) orang memenangkan Malaysia sebagai pemilik Pulau Sipadan dan Ligitan, sedangkan Indonesia hanya dipihaki oleh 1 (satu) orang Juri.
Dengan itu, Mahkamah Internasional telah menjatuhkan keputusan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan didasarkan atas pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pemungutan pajak, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan Malaysia yang telah melakukan kegiatan pariwisata di kedua pulau tersebut tidak menjadi pertimbangan.
Pada pihak lain, mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang hanya bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di wilayah Kalimantan. Garis paralel 4° 10’ LU ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah suatu negara sejauh 3 mil. Sebaliknya, mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Pemerintah RI menerima keputusan tersebut, karena keputusan Mahkamah Internasional adalah keputusan final yang tidak bisa dilakukan banding. Diharapkan dengan keputusan tersebut dapat membuka babakan baru bagi hubungan Indonesia–Malaysia ke arah yang lebih bersahabat, dewasa, dan produktif.
Pada masalah persengketaan ini, Mahkamah Internasional terlibat secara aktif dalam menangani perkara berdasarkan pada prosedur, teori, ketentuan, dan konsep yang diatur dalam Hukum Internasional, sehingga akhirnya menghasilkan sebuah keputusan final dengan menyatakan bahwa Malaysia sebagai negara yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan.
DAFTAR BACAAN
Ali Sastroamidjojo. SH. 1971. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Bharatara.
Bernard Sihombing. 2009. Keberadaan Pulau Sipadan dan Ligitan. (Online) (Dalam http://www.pulau.com. Diakses tanggal 8 Mei 2010)
Bongas Adhi Chandra. 2009. Sipadan-Ligitan, Kegagakan Diplomasi RI?. (Online) (Dalam http://www.kompas.com. diakses tanggal 8 Mei 2010)
Muhammad Joni. 2009. Tak Ada Lagi Pulau Yang Menjadi Sengketa. (Online) (dalam http://www.erroroccered.com diakses tanggal 8 Mei 2010)
Nani Noerpramono. 2009. Pencantuman Sipadan-Ligitan dalam Peta Indonesia, Malaysia Belum Ajukan Protes. (Online) (Dalam http://www.kompas.com. Diakses tanggal 12 Juni 2009)
Umar Tarmansyah. 2009. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan Sebuah Pelataran Kewaspadaan. (Online) (Dalam http://www.litbang.com. Diakses tanggal 8 Mei 2010)
Nani Noerpramono. 2009. Pencantuman Sipadan-Ligitan dalam Peta Indonesia, Malaysia Belum Ajukan Protes (Online) (Dalam http://www.kompas.com diakses tanggal 12 Juni 2009)
Ibid
Muhammad Joni. 2009. Tak Ada Lagi Pulau Yang Menjadi Sengketa. (Online) (dalam http://www.erroroccered.com diakses tanggal 12 Juni 2009)
Ibid
Bongas Adhi Chandra. 2009. Sipadan-Ligitan, Kegagakan Diplomasi RI?. (Online) (dalam http://www.kompas.com. diakses tanggal 12 Juni 2009).
Ibid
Ibid
Umar Tarmansyah. Op Cit.
Ibid
Muhammad Joni. 2009. OP Cit